Bias psikologi sebagai hasil proses evolusi manusia bermilenium-milenium, justru telah teridentifikasi menjadi sumber berbagai kekeliruan, kegagalan kebijakan, dan bencana dalam pembuatan keputusan politik dan ekonomi. Dalam persoalan lingkungan, warisan yang berguna untuk survival dan reproduksi ini malah mengantar umat manusia ke bencana massal. Bias membuat manusia memandang sebelah mata peluang dan bahaya perubahan lingkungan, serta peran mereka dalam hal tersebut. Bagai dua sisi koin, di lain sisi bias ini seolah memberi insentif pada pikiran manusia untuk mempertahankan status quo dan menyalahkan orang lain (atas situasi yang terjadi).

Buruknya penilaian terhadap urgensitas (krisis iklim) bukan disebabkan oleh ketidakpahaman atau minimnya informasi mengenai hal tersebut. Ada sesuatu yang menyebabkan cara kita mengomunikasikan krisis iklim gagal untuk memobilisi lebih banyak masyarakat.

Bias Sensori

Otak manusia tidak bereaksi penuh terhadap sesuatu sampai hal tersebut terdeteksi oleh indera (pengelihatan, pendengaran, perasa, penciuman atau sentuhan). Panca indera, arsitektur kognitif, dan proses mental berkembang untuk merespon ancaman nyata dan peluang-peluang nyata di lingkungan sekitar, bukan untuk ancaman yang bersifat abstrak, samar-samar, hipotetis, atau terjadi di tempat yang jauh atau orang lain.

Jarak waktu antara aksi dengan timbulnya konsekuensi di masa depan tidak dapat memberikan umpan balik langsung. Gas rumah kaca, ozon, dan deforestasi terjadi di tempat yang jauh, sehingga bencana-bencana tersebut tersembunyi (dari indera manusia) dengan efektif. Tentu otak kita menghasilkan reaksi-reaksi emosional terhadap peristiwa-peristiwa yang kita amati dari jauh atau pelajaran-pelajaran yang kita ambil dari hal yang menimpa orang lain, tetapi reaksinya tidak sekuat saat kita mengalaminya sendiri.

Lalu, mengapa saat gempa bumi dahsyat, tsunami, atau erupsi orang-orang menaruh perhatian dan prihatin meskipun terjadi di area yang amat jauh? Peristiwa dahsyat menjadi simbol kuat yang sangat mempengaruhi persepsi kita, sekalipun peristiwa tersebut tidak merepresentasikan pola statistik tertentu, dan bukan bukan indikator valid atas (pola alam) apa yang sesungguhnya terjadi. Nyatanya, peristiwa-peristiwa negatif kita proses dengan lebih seksama dan berdampak lebih kuat dari pada impresi positif. Selain itu, impresi negatif dan stereotip lebih cepat terbentuk dan lebih tahan terhadap diskonfirmasi dibandingkan impresi positif.

Dengan fakta tersebut, media memainkan peran besar untuk memberikan impresi negatif mengenai perubahan alam, sehingga isu lingkungan betul-betul kita perhatikan. Analisi lintas-negara yang dilakukan oleh Allan Mazur menemukan bahwa persepsi publik tentang bahaya-bahaya lingkungan berkaitan dengan jumlah liputan media pada persoalan tersebut. Celakanya bila ternyata media sendiri bias pada persoalan lingkungan. Lebih buruk lagi, bila kita menunggu hingga panca indera dapat merasakan sendiri gejala-gejalanya, mungkin di saat tersebut kita sudah tak punya cukup waktu untuk berbuat.

Bias Psikologi

Ilusi Positif

Kita cenderung terlalu percaya diri pada kemampuan kita untuk menghindari atau menangani degradasi lingkungan. Kita juga meremehkan besarnya peluang kita untuk terdampak langsung, dan sekali lagi, terlalu percaya diri pada kemampuan kita untuk bertahan saat situasi memburuk. Eksperimen psikologi telah menemukan bahwa ilusi positif ini cenderung terjadi di situasi yang ambigu, minim timbal balik, dan mengancam. Namun, sesuai dengan prinsip bias sensori, saat seseorang terlibat langsung dalam bencana, ilusi positifnya menghilang.

Ketidakcocokan Kognitif

Tantangan selanjutnya adalah informasi kontradiktif yang menimbulkan ketidaknyamanan psikologis, dan menyebabkan kita secara tidak sadar: 1. mencoba mencocokan informasi yang tidak sesuai dengan keyakinan yang dimiliki, 2. aktif menghindari situasi-situasi yang meningkatkan ketidakcocokan. Fenomena ketidakcocokan kognitif cenderung membuat kita memilih, mengorganisir, atau memilah informasi yang bertentangan, dan hanya menyisakan informasi yang cocok dengan preferensi atau keyakinan yang dimiliki.

Memberitahu masyarakat bahwa hidup mereka dan tempat tinggalnya akan menjadi yang selanjutnya mengalami perubahan radikal tampaknya tak efektif, bila tak boleh disebut sia-sia. Informasi tersebut tidak dapat segera divisualisasikan, dan cenderung ditolak sebagai informasi yang tidak cocok. Ketidakcocokan kognitif cenderung meningkat dengan beberapa faktor terkait lingkungan: informasi kontradiktif, komitmen pada kebijakan yang diberikan, preferensi yang kuat, motif ideologis, ancaman serius terhadap kepentingan, dan hal strategis (hajat hidup publik dan kemakmuran).

Kekeliruan Anggapan Mendasar

Kita cenderung mengaitkan perilaku orang lain dengan penyebab-penyebab personal, seperti karakter dan kepentingan mereka, sementara perilaku sendiri kita kaitkan dengan penyebab situasional seperti pilihan yang terbatas, kebutuhan, dan kompetisi. Dalam persoalan lingkungan, hal ini berarti masyarakat cenderung menganggap aksi organisasi-organisasi, pemerintah, dan kelompok lainnya sebagai tindakan yang berdasarkan pada kepentingan kelompok mereka, yang di lain sisi mengurangi kebebasan dan kemakmuran si kelompok masyarakat.

Familiar dengan penolakan terhadap aksi terkait lingkungan dengan menuding hal tersebut merupakan “agenda asing”? Ternyata hal tersebut dapat dijelaskan dengan teori bias psikologi. Pada tingkat internasional, sebagai contoh, anggota dari negara X cenderung menganggap upaya mereka dalam kebijakan lingkungan menghadapi berbagai tantangan sulit. Di waktu yang sama, mereka menganggap negara lain mengurangi kebijakan lingkungan demi kemajuan, dengan mengabaikan kendala-kendala yang dihadapi oleh negara X. Bias ini akan menjadi lebih buruk ketika kita fokus pada perilaku orang lain, komunikasi buruk, tingkat ketidakpercayaan tinggi, dan kita terjebak dalam kenangan interaksi yang buruk di masa lampau.

Teori Prospek

Ketika menghadapi hasil yang tak pasti, kita cenderung menghindari risiko saat memilih di antara potensi-potensi keuntungan, tetapi rentan terhadap risiko saat memilih di antara potensi kerugian. Dalam kata lain, kita cenderung lebih asal-asalan saat menghadapi pilihan-pilihan buruk. Dalam isu lingkungan, hal tersebut berarti: 1. secara umum, kemungkinan besar kita berada dalam kerugian, entah rugi karena pengeluaran yang besar dalam perubahan gaya hidup, atau rugi karena tidak melakukan apapun dan berpotensi dilanda bencana lingkungan dahsyat. Teori prospek memrediksi bahwa kita akan asal-asalan dalam menghadapi perubahan lingkungan dengan tidak melakukan apapun sembari berharap kondisi tidak akan seburuk yang dibayangkan.

Dalam skala pengambilan keputusan yang lebih besar, misal negara, prediksi Teori Prospek bergantung penuh pada persepsi pembuat kebijakan tentang biaya dan risiko yang relevan (dari krisis iklim). Persepsi berperan menentukan akankah, lalu bila iya, kapan dan bagaimana Teori Prospek mempengaruhi preferensi kebijakan lingkungan pada orang-orang dan situasi-situasi yang berbeda. Kerentanan pada risiko cenderung lebih tinggi saat pilihan-pilihan yang tersedia buruk atau  merugikan, atau nampak ongkos yang tinggi dengan keuntungan yang rendah, serta  saat kita merasa terpojokan.

Kita Versus Mereka

Mayoritas kelompok cenderung mengevaluasi dirinya dan anggota kelompok dengan sudut pandang yang menyenangkan, sedang kelompok lain atau pihak yang di luar kelompoknya dikritik keras. Dalam permasalahan lingkungan, bias in-group/out-group berpengaruh cukup signifikan, karena aksi lingkungan yang efektif bergantung pada kerjasama (atau setidaknya koordinasi) antar kelompok dan negara. Upaya tersebut mudah dilemahkan oleh anggapan ketidakadilan, menyalahkan orang lain, dan sikap mengkambinghitamkan orang lain atas penyebab dan konsekuensi perubahan lingkungan—dan semua itu dapat diperparah dengan bias in-group/out-group. Bias tersebut lebih sering terjadi saat terdapat pengkategorisasian yang kuat, serta ancaman kuat yang nyata dan besar bagi beberapa kelompok, sedangkan alur komunikasi di antara mereka buruk.

_ _ _

Bias-bias tersebut bukan tantangan yang mudah, dan kabar buruknya, ada beberapa hal lain yang membuatnya makin sulit. Pertama, mengubah (gaya hidup, kebijakan, maupun strategi) adalah pekerjaan yag berat—bencana dahsyat jarang terjadi, sehingga konsekuensi dari strategi pencegahan sulit atau tidak diketahui. Kedua, perubahan membawa ketidakpastian—jika status quo berhasil hingga detik, mengapa risiko dari kebijakan yang tidak tentu diwacanakan? Ketiga, perubahan membutuhkan biaya.

Dirangkum dari Johnson, Dominic, Simon Levin. 2009. The Tragedy of Cognition: Psychological Biases and Environmental Inaction.

Foto Jonathan Kemper/Unsplash

Note : istilah “climate change” dalam jurnal digantikan oleh “krisis iklim” dalam artikel ini, demi mengikuti sebutan terkini untuk fenomena yang dimaksud.