Pemegang kekuasaan dapat memanfaatkan keuntungan posisinya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Dalam politik, korporasi, dan pelayanan publik, orang-orang dengan eselon tinggi kerap berupaya mengumpulkan sumber daya dan prestis. Mereka sering kali hanya fokus untuk meningkatkan upah sendiri, sementara mengabaikan upah orang lain.

Demikian pula penguasa sering memaksakan nilai-nilai personal. Misalnya, semakin tinggi kekuasaan yang dimiliki seorang CEO maka semakin ia menerapkan aksi-aksi perusahaan yang berkaitan dengan ideologi politik personal. Pemegang kekuasaan juga dapat memegang taktik mengecoh, seperti berjanji kemudian mengingkarinya.

Perilaku melayani diri sendiri penguasa berkaitan dengan perasaan legitimasi dan perasaan bahwa diri sendiri berhak (atas sesuatu). Untuk mengendalikan hal-hal tersebut seorang penguasa membutuhkan kontrol diri. Sayangnya, seseorang yang memiliki kuasa tidak selalu memiliki sumber daya atau mau melatih kontrol diri untuk keluar dari bias tersebut.

Namun, kaitan antara kekuasaan dan korupsi dipengaruhi oleh berbagai berbagai faktor, dan dapat dibalikan tergantung pada predisposisi dan konteks. Faktor-faktor ini termasuk stabilitas kekuasaan, konflik internal kelompok, budaya, budaya organisasi, identitas moral, dan tugas (yang diemban), dan predisposisi dari individu yang berkuasa. Dalam beberapa kasus, orang yang memiliki otoritas mengorbankan kepentingan sendiri untuk melayani kelompok. Hal ini lebih dikenal sebagai budaya kolektivistik, yang mengaitkan kekuasaan dengan tanggung jawab sosial, dimana dalam budaya individualistik kekuasaan dilihat sebagai peluang-peluang kepentingan sendiri. Temuan-temuan tersebut konsisten dengan keyakinan bahwa kekuasaan memfasilitasi pencapaian tujuan-tujuan yang paling penting, yang dapat berkaitan dengan predisposisi seseorang, pengaruh budaya maupun situasi.

Singkat kata, cara terbaik untuk memahami perilaku orang yang berkuasa adalah selaras dengan diri-yang-aktif (active self) dan tujuan-tujuan utama, saat mempertimbangkan seseorang dan situasinya. Biasanya, penguasa diarahkan oleh perannya, predisposisi, tugas yang diemban, dan inklinasi budayanya. Mereka lebih ekspresif, termasuk mengekspresikan bias melayani diri sendiri. Bias-bias ini dapat diperburuk dengan perasaan berhak dan keinginan untuk melanggengkan hierarki, dan peluang yang lebih besar untuk melayani diri sendiri. Apabila tanggung jawab dalam menggunakan kekuasaan aktif karena predisposisi personal, budaya organisasi atau nasional, maka perilaku melayani diri sendiri lebih jarang terjadi.

Dikutip dan diterjemahkan dari :

Guinote, Ana. (2017). How Power Affects People: Activating, Wanting and Goal Seeking. Annual Review of Psychology. Vol. 68. University College London, London.