Mei 20 tahun silam, saya dan orang tua masih tinggal di kota Tangerang. Berjarak sekitar 25 km dari Jakarta, suasana di sana tak jauh berbeda. Saat kerusuhan pecah, usia saya baru genap di tahun kelima.
Saya tinggal dikomplek pegawai lembaga pemasyarakatan, tepat di jalan Mochammad Yamin kota Tangerang. Saat itu masih siang, entah hari keberapa di bulan kelima, jalan berlajur dua arah dengan pohon perdu di tengahnya itu ditutup. Melihat jalan sepi, aku dan teman-teman justru nekat sepedaan, meskipun hanya bertahan sebentar sebelum dijemput ibu pulang. Dan itu pun hanya di tengah ruas jalan yang tak cukup panjang, tak berani ke ujung. Sebab, di ujung selatan, persimpangan dengan Jalan Sudirman dipasang kawat berduri dan dijaga polisi. Di ujung lawannya, ada beberapa truk berhenti. Aku ingat satu truk bak kayu yang pintu belakangnya terbuka penuh dengan pemuda.
“Itu apa?” Aku menunjuk jaket kuning yang mereka kenakan.
“Mahasiswa.” Jawab ibu singkat lalu menarik ku pulang.
Sebetulnya suasana di komplek ku cukup tenang. Tidak ada yang menjadi korban maupun pelaku penjarahan. Mungkin karena semua warga adalah keluarga sipir lapas setempat, dan kebetulan tidak ada keturunan tionghoa yang malangnya saat itu menjadi sasaran.
Selang beberapa hari, para tetangga ramai bercerita tentang penjarahan di pusat perbelanjaan. Mulai dari susu bayi hingga lemari pendingin, semua ludes diambil. Kabarnya jumlah penjarah banyak, dan beberapa tak sempat keluar saat gedung mulai terbakar. Entah telah berlalu beberapa hari atau minggu, ku lihat gedung supermarket hancur dan hangus. Saat itu aku tidak yakin namanya apa. Belakangan ku duga itu Mega Mall Lippo, menimbang jaraknya dari rumahku.
Hari-hari berikutnya, ku lihat sepanduk kain terpampang di sekitar komplek. Saat itu aku sudah bisa membaca walau masih harus mengeja. Pada latar putih polos, pesan “HATI-HATI BAHAYA LATENT KOMUNIS” dicetak dalam huruf kapital berwarna biru.