Perilaku-perilaku prososial biasanya menguntungkan bagi orang banyak, bukan hanya satu atau dua individu, seperti manfaat dari membuang sampah pada tempatnya. Sayangnya, keuntungan bersama yang dibagi rata ini menghalangi individu untuk secara aktif berpartisipasi pada kegiatan baik tersebut. Hal ini karena hilangnya rasa kepemilikan pribadi seiring keuntungan yang dibagi bersama. Pada ranah kebijakan publik, pembuat kebijakan kerap mendorong perilaku prososial dengan membuat peraturan dan menerapkan hukuman atau denda. Nyatanya, metode ini tidak hanya mahal dalam proses penerapan tetapi juga cenderung tidak efektif.
Mengemas perintah atau anjuran dengan personifikasi lebih efektif untuk memicu perilaku prososial. Personifikasi atau anthropomorphise adalah melihat tanda-tanda manusia pada entitas non-manusia, seperti melihat bentuk wajah di awan, atau lampu depan mobil dan bumper yang tampak seperti wajah tersenyum. Kita kerap mempersonifikasi objek-objek secara alamiah bahkan tanpa sadar. Personifikasi pada persoalan sosial dapat mendorong seseorang untuk patuh pada anjuran atau peraturan karena metode ini memberikan insentif internal untuk bertindak, yaitu kebutuhan untuk menghindari rasa bersalah karena membahayakan orang lain sebab tidak menolong atau melakukan keburukan.
Kajian neuroscience menunjukan bahwa dalam otak kita objek yang dipersonifikasi diproses serupa dengan entitas manusia, karena kedua entitas tersebut (manusia dan non-manusia yang dipersonifikasi) mengaktifkan area otak yang sama. Lebih lanjut, penelitian juga menemukan bahwa penampakan serupa wajah atau gerakan manusia juga mengarahkan kita pada anggapan bahwa objek yang dipersonifikasi tersebut memiliki mental seperti kita. Sebab, pengalaman emosi atau kognisi yang seolah tampak pada objek tersebut (misal: ketakutan, rasa sakit, kebahagiaan, lapar) adalah dimensi kunci dari manusia. Oleh karena itu, objek non-manusia yang dipersonifikasi dianggap memiliki kesadaran seperti manusia, sehingga cenderung diperlakukan seperti manusia.
Di lain sisi, kita sebagai manusia cenderung merasa bersalah saat melihat orang lain dalam kesusahan. Rasa bersalah adalah perasaan negatif sebagai konsekuensi dari bertindak buruk, tidak membantu orang lain, situasi yang tak baik, dimana hal-hal tersebut dianggap sebagai bagian dari tanggung jawabnya. Perasaan bersalah dapat dirasakan oleh seseorang meskipun orang lain yang mengalami kesusahan tersebut tidak memiliki interaksi atau hubungan yang kuat dengannya, dan bahkan bila orang yang dalam kesusahan tersebut cenderung tak akan membalas bila tak ditolong.
Manusia cenderung menghindari rasa bersalah, oleh karena itu, kita cenderung mengubah perilaku kita agar tak merasa bersalah di kemudian hari. Objek non-manusia yang dipersonifikasi dapat memantik rasa bersalah kita terhadapnya, karena kita melihat tanda-tanda manusia seperti wajah dan gerakan pada objek tersebut. Sebagai contoh, anjuran “Matikan lampu saat tidak digunakan” jauh lebih tidak efektif ketimbang menempel stiker wajah pada saklar lampu lalu dengan pesan “Aku demam karena terlalu lama nyala, tolong dimatikan.”. Metode ini kerap digunakan oleh pecinta hewan dalam kampanye vegetarian mereka. Mereka menempelkan stiker tentang kisah hidup sapi lengkap dengan nama seolah-olah manusia pada kemasan daging sapi di supermarket. Kombinasi personifikasi dan penghindaran rasa bersalah ini juga yang membuat kita menyayangi beberapa jenis hewan tertentu seperti anjing dan orang utan, karena dalam otak kita menganggap mereka memiliki kesadaran dan mental yang sama dengan manusia.
Tulisan ini dirangkum, diterjemahkan, dan diadaptasi dari laporan penelitian Helping Fellow Beings: Anthropomorphized Social Causes and the Role of Anticipatory Guilt
Ahn, H.-K., Kim, H. J., & Aggarwal, P. (2014). Helping Fellow Beings: Anthropomorphized Social Causes and the Role of Anticipatory Guilt. Psychological Science, 25(1), 224–229. https://doi.org/10.1177/0956797613496823