Percaya atau tidak di tahun 2016 “bagaimana cara move on” menjadi salah satu topik yang dicari di Google. Bisa jadi setelah empat tahun masih banyak yang berjuang, walaupun ku semogakan tidak. Pun apabila iya, tulisan ini dipersembahkan untuk kalian para pejuang perasaan. Hehehe~
Kunci utama move on adalah mengatur emosi. Sebetulnya, fitur emosi terperlihara dengan apik dalam diri manusia setelah evolusi jutaan tahun karena emosi efisien dalam mengkoordinasi sistem respon diri yang beragam. Oleh karena itu, emosi membantu kita dalam merespon tantangan dan peluang yang penting.
Pengaturan emosi dapat berarti mengurangi atau menambah emosi yang sedang dirasakan. Emosi dikurangi saat ia memicu respon yang tak berguna, contohnya marah lalu memaki anak kecil; emosi muncul karena pemicu yang terlalu sederhana, misal ketakutan melihat hantu yang ternyata hanya nangka dibungkus karung putih; atau saat emosi yang muncul bertentangan dengan tujuan lain yang lebih penting, seperti mengurangi rasa gugup saat presentasi agar materi tersampaikan dengan jelas. Sedangkan peningkatan emosi dilakukan saat emosi yang dirasakan tak cukup kuat sebab individu fokus pada hal lain, atau saat seseorang ingin mengubah suasana hatinya.
Ada beberapa cara untuk mengatur emosi. Pertama, pemilihan situasi, yaitu mendekati atau menjauhi seseorang atau situasi tertentu yang mungkin berdampak pada emosi. Misal, tak datang ke reuni karena mungkin mantan akan ada di sana. Kedua, modifikasi situasi, yaitu memodifikasi lingkungan sekitar untuk mempengaruhi potensi emosi yang muncul. Contohnya, memutuskan datang ke reuni tapi dengan menggandeng gebetan, berjaga bila ketemu mantan. Ketiga, memecah perhatian, seperti fokus pada band pengisi acara ketimbang memperhatikan mantan. Keempat, perubahan kognisi, yaitu mengevaluasi situasi dengan mengubah pemikiran tentang mantan atau tentang kapasitas diri dalam menangani persoalan. Misal, saat percakapan dengan mantan di reuni tak lagi terhindarkan, ia berpikir “Yang sudah biar berlalu, sekarang waktunya menikmati hidup dengan berbagai peluang. Mantan mungkin juga bisa jadi teman.”. Terakhir, saat keempat cara tersebut tak memungkinkan strategi yang dapat dilakukan adalah modulasi respon, seperti menengadah ke atas saat air mata sudah berhimpun di pelupuk. Hehehe~
Selain lima cara di atas, terdapat dua strategi lain yang dapat digunakan. Pertama, evaluasi, yakni dengan mempertanyakan emosi yang sedang dirasakan. “Aku kenapa sih? Kenapa aku sedih? Emang sebelum sama dia aku nggak hidup bahagia?”, kira-kira pertanyaan ke diri sendiri semacam itu. Sebab, pemicu emosi bukanlah situasi secara objektif, melainkan anggapan individu tentang situasi yang sedang dialami. Kedua, menekan ekspresi dari emosi. Cara kedua ini dilandasi oleh hipotesis umpan balik wajah, bahwa mengekspresikan emosi yang dirasakan cenderung sedikit meningkatkan perasaan tersebut.
Lima ditambah dua cara tersebut pantas dicoba untuk mempercepat move on dari mantan atau hal-hal lain yang ingin ditinggalkan. Kabar baiknya, tujuh proses pengaturan emosi tadi tidak hanya dapat digunakan untuk mereduksi emosi negatif, tapi juga meningkatkan emosi positif untuk memperbaiki mood. Namun, perlu diingat bahwa emosi pada titik tertentu adalah alarm untuk bertindak, seperti rasa khawatir pada pandemi yang sebenarnya adalah peringatan bagi diri untuk segera menerapkan perilaku hidup sehat.
Sumber teori: James J. Gross (1999): Emotion Regulation: Past, Present, Future, Cognition & Emotion, 13:5, 551-573