Hari tinggal dua, tulisan masih seputar corona. Tak apa kan? Selama belum ada vaksin, kita masih perlu berhati-hati. Jangan sampai terlena angka, lalu jadi tak waspada, padahal banyak orang tanpa gejala. Lagipula tak ada jaminan puncak hanya tunggal. Selagi new normal masih wacana, mari kita bayangkan kemungkinan perubahan dalam keseharian, mulai dari persoalan cuci tangan sampai ciuman. Hehehe~
Beradaptasi tak berarti mengendorkan waspada, justru semakin berhati-hati sampai hal terkecil sehari-hari, seperti mencuci. Tangan adalah bagian yang paling butuh sering dibersihkan. Organ ini terlibat hampir di semua kegiatan, termasuk makan, dan menyentuh banyak permukaan, bahkan di luar kesadaran. Kemarin, sebelum kita mengenal Covid-19, berapa banyak warung makan pinggir jalan yang menyediakan cuci tangan? Yang di pertokoan pun sabun cuci tangan kerap dalam mode pengiritan. Nanti, saat kita masih menunggu vaksin, namun pembatasan sudah dikurangi dan tempat-tempat publik kembali aktif, kira-kira seberapa besar pengusaha makanan berinvestasi pada fasilitas kebersihan? Bila tak yakin, siap-siap bawa piranti sanitasi sendiri.
Selain tangan, alat makan juga perlu diperhatikan. Pernah lihat anak kecil pakai sendok, garpu, atau sumpit jadi mainan, lalu orang tuanya menaruh kembali ke wadah alat makan? Atau melihat bercak kotoran? Itu baru sebagian dari standar kebersihan restoran yang tak bisa kita kendalikan. Apakah bawa alat makan tampak berlebihan?
Jangan pikir alat makan yang terakhir. Masker, selain dikenakan juga harus selalu ada cadangan. Jadi, kalau bersin tak perlu merasa risih, apalagi malah dibuka, masker jadi tak berguna. Kemudian, beberapa kebiasaan juga harus mulai diterapkan, termasuk beretika dalam bersin, batuk dan meludah, cuci tangan setiap sebelum menyentuh makanan, tak sembarangan menyentuh wajah apalagi bermesraan. Pastikan gebetan baik-baik saja sebelum mempertaruhkan nasib kesehatan. Jangan sampai bukannya jadian malah penyakitan. Hehe~ Tapi kira-kira tanyanya gimana ya? “Aku sebenernya suka sama kamu, tapi aku nggak tau hasil PCR test mu gimana, atau jangan-jangan berlum pernah?”. Hiii..ketemu calon mertua kayanya makin berat aja.
Buat kaum pekerja urban, ada pertanyaan tambahan: Bagaimana caranya ongkos transportasi tak membengkak selama jaga jarak? Misalnya, naik Transjakarta Kampung Melayu-Harmoni di pagi hari sulit dapat spasi. Naik ojek bikin umur gaji pendek, karena sekali angkut biayanya puluhan ribu. Nyetir sendiri energi dan kesabaran bisa setengah terkuras di jalanan. Bingung kan? Emang paling enak jadi kaya, punya sopir yang antar kemana-mana, tinggal duduk di belakang lihat kiri kanan sambil komentar kalau ada buruh yang teriak-teriak hak pekerja di jalanan.
Wah, sudah lima paragraf, padahal masih banyak yang perlu dibayangkan. Ya sudah, mungkin nanti ada yang menambahkan komentar atau menyambung tulisan.